PALU, KOMPAS.com — Seorang pria muda di Palu, Sulawesi
Tengah, Selasa (22/01/2013) sekira pukul 05.00 WIT, membakar kedua
orangtuanya dan seorang adiknya.
Kejadian terjadi di rumah
kediaman Wandy Sugianto (68) dan Sherly Chandra (48) di Jalan Basuki
Rahmat, Kelurahan Birobuli, Palu Selatan. Di rumah itu, pemilik usaha UD
Pelita Indah tersebut tinggal bersama dengan dua anaknya, Ferdy (26)
dan Nelly (23).
Nah, Ferdylah yang membakar kedua
orangtua dan adiknya setelah sebelumnya mengguyur badan mereka dengan
minyak tanah. Anehnya, saat diinterogasi Kepala Kepolisian Resor Palu
AKBP H. Ahmad Ramadhan, Ferdy mengaku dalam keadaan tidak sadar.
Ferdy
juga mengatakan tidak tahu bila dirinya dituduh membakar orang tua dan
adiknya. "Saya tidak tahu. Saya tahunya orang tua dan adik saya
terbakar. Saya juga terbakar di tangan kanan. Pertama terbakar saya
bangun. Setelah itu, saya tertidur lagi, lalu bangun lagi," ujar Ferdy
yang menjawab pertanyaan Kapolres seperti orang linglung.
Kepala
Polres Ahmad Ramadhan menyampaikan, awalnya diduga tersangka Ferdy di
bawah pengaruh narkotika, tetapi setelah pemeriksaan air seni di Rumah
Sakit Bhayangkara, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ferdy dinyatakan
negatif. "Kami sementara mendalami pemeriksaan atas tersangka juga
kemungkinan untuk tes kejiwaan karena sejauh ini tersangka belum
mengakui perbuatannya," kata Ramadhan.
Menurut Ramadhan, ia masih menunggu pemeriksaan saksi korban karena mereka kunci dari peristiwa ini. Berdasarkan pemantauan Kompas.com,
Wandy menjadi korban dengan luka paling parah. Ia terbakar 90 persen.
Korban Sherly terbakar di bagian lengan kiri dan Nelly juga terbakar di
lengan.
Saat ini, ketiga korban masih dirawat di ruang Intensif
Care Unit (ICU) Rumah Sakit Budi Agung, Jalan Maluku, Palu Selatan.
Rencananya, ketiga korban akan dirawat lebih lanjut di Singapura.
Selasa, 22 Januari 2013
Ini 4 Penyebab Banjir Jakarta
JAKARTA, KOMPAS.com — Masalah banjir belum juga
terselesaikan di Ibu Kota. Jakarta terendam banjir pada babak awal
memasuki tahun 2013. Banjir cukup merata di seluruh wilayah Jakarta.
Sejumlah akses jalan terputus. Air setinggi 20 hingga beberapa meter
menggenangi jalanan Ibu Kota. Banjir pun tak pilih-pilih lokasi, mulai
dari perkampungan hingga Kompleks Istana Kepresidenan kebanjiran.
Curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir membuat volume air bertambah. Sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena tak mampu menahan banyaknya air. Namun, banjir seharusnya tak terjadi hanya karena intensitas hujan yang tinggi itu. Mengapa banjir terus terjadi dan makin meluas di Ibu Kota?
Pengamat tata kota, Nirwono Joga, mengatakan, sejumlah faktor turut menyebabkan banjir Jakarta 2013. Secara umum, telah terjadi perubahan besar pada tata ruang di Jakarta dan kota sekitarnya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Faktor pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi kawasan pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Resapan air hujan menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan.
"Sebagian besar banjir yang terjadi di Jakarta ini terjadi di daerah-daerah tanggapan air, resapan air, yang dulu sejak zaman Belanda memang diperuntukkan untuk ruang hijau," ujarnya di Jakarta, Selasa (22/1/2013).
Joga mengatakan, pemerintah harus tegas membatasi pembangunan komersial di Jakarta. Pendirian bangunan pun harus dicek kembali apakah telah menyediakan sebanyak 30 persen sumber resapan sesuai ketentuan undang-undang.
Kedua, sistem drainase yang buruk di Jakarta. Menurut Joga, seharusnya saluran air berujung ke sungai atau laut, melainkan ke daerah resapan atau ke dalam tanah. Pemerintah harus melakukan revitalisasi terhadap sistem drainase di seluruh Jakarta dan jalan-jalan protokol seperti Sarinah, Thamrin, Sudirman, dan lainnya. Pemerintah juga perlu membuat sistem drainase eco-drainase yang mengalirkan air ke sumber resapan.
Ketiga, tidak optimalnya fungsi waduk maupun situ. Dalam catatannya, pada tahun 1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ. Namun, kini hanya tersisa 42 waduk dan 16 situ. Sebanyak 50 persen di antaranya pun tidak berjalan optimal. Waduk-waduk di Jakarta dipenuhi tumbuhan enceng gondok, limbah, dan sampah. Pendangkalan pun terjadi akibat sedimentasi lumpur. Waduk yang akhirnya mengering kemudian dijadikan daerah hunian.
"Untuk meningkatkan kapasitas optimalisasi, tentu perlu dilakukan revitalisasi pengerukan dan penataan. Kalau optimal, waduk bisa menjadi cadangan air bersih," terangnya.
Keempat, belum dilakukannya normalisasi di semua sungai. Menurut pengamat dari Universitas Trisakti ini, pemerintah harus melakukan normalisasi kali sekaligus merelokasi permukiman di bantaran sungai ke tempat yang layak huni.
"Kita harapkan 5 tahun ke depan sungai sudah selesai dinormalisasi yang lebarnya saat ini 20-30 meter menjadi 100 meter," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pasang air laut dalam beberapa hari ke depan diprediksi tinggi. Pada Senin (21/1/2013), pasang akan memuncak hingga ketinggian 0,95 meter. Pada Sabtu (26/1/2013), pasang bisa mencapai 1 meter. Sementara pada Minggu depan, pasang bisa mencapai 0,95 meter.
Untuk diketahui, pada 2007, curah hujan yang mengguyur Jakarta mencapai 320 milimeter. Curah hujan di Jakarta belakangan ini sekitar 95 milimeter dan di wilayah hulu (Puncak, Bogor) sekitar 75 milimeter. Intensitas hujan di Jakarta saat ini sedang menurun. Namun, pada akhir Januari atau awal Februari, diprediksi curah hujan menjadi dua kali lipat.
Untuk itu, solusi masalah banjir Jakarta, tambah Joga, tidak hanya dengan melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan gorong-gorong raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat, menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus sadar pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai bukanlah lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan. Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya kesadaran masyarakat itu sendiri.
sumber kompas.com
Curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir membuat volume air bertambah. Sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena tak mampu menahan banyaknya air. Namun, banjir seharusnya tak terjadi hanya karena intensitas hujan yang tinggi itu. Mengapa banjir terus terjadi dan makin meluas di Ibu Kota?
Pengamat tata kota, Nirwono Joga, mengatakan, sejumlah faktor turut menyebabkan banjir Jakarta 2013. Secara umum, telah terjadi perubahan besar pada tata ruang di Jakarta dan kota sekitarnya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Faktor pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi kawasan pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Resapan air hujan menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan.
"Sebagian besar banjir yang terjadi di Jakarta ini terjadi di daerah-daerah tanggapan air, resapan air, yang dulu sejak zaman Belanda memang diperuntukkan untuk ruang hijau," ujarnya di Jakarta, Selasa (22/1/2013).
Joga mengatakan, pemerintah harus tegas membatasi pembangunan komersial di Jakarta. Pendirian bangunan pun harus dicek kembali apakah telah menyediakan sebanyak 30 persen sumber resapan sesuai ketentuan undang-undang.
Kedua, sistem drainase yang buruk di Jakarta. Menurut Joga, seharusnya saluran air berujung ke sungai atau laut, melainkan ke daerah resapan atau ke dalam tanah. Pemerintah harus melakukan revitalisasi terhadap sistem drainase di seluruh Jakarta dan jalan-jalan protokol seperti Sarinah, Thamrin, Sudirman, dan lainnya. Pemerintah juga perlu membuat sistem drainase eco-drainase yang mengalirkan air ke sumber resapan.
Ketiga, tidak optimalnya fungsi waduk maupun situ. Dalam catatannya, pada tahun 1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ. Namun, kini hanya tersisa 42 waduk dan 16 situ. Sebanyak 50 persen di antaranya pun tidak berjalan optimal. Waduk-waduk di Jakarta dipenuhi tumbuhan enceng gondok, limbah, dan sampah. Pendangkalan pun terjadi akibat sedimentasi lumpur. Waduk yang akhirnya mengering kemudian dijadikan daerah hunian.
"Untuk meningkatkan kapasitas optimalisasi, tentu perlu dilakukan revitalisasi pengerukan dan penataan. Kalau optimal, waduk bisa menjadi cadangan air bersih," terangnya.
Keempat, belum dilakukannya normalisasi di semua sungai. Menurut pengamat dari Universitas Trisakti ini, pemerintah harus melakukan normalisasi kali sekaligus merelokasi permukiman di bantaran sungai ke tempat yang layak huni.
"Kita harapkan 5 tahun ke depan sungai sudah selesai dinormalisasi yang lebarnya saat ini 20-30 meter menjadi 100 meter," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pasang air laut dalam beberapa hari ke depan diprediksi tinggi. Pada Senin (21/1/2013), pasang akan memuncak hingga ketinggian 0,95 meter. Pada Sabtu (26/1/2013), pasang bisa mencapai 1 meter. Sementara pada Minggu depan, pasang bisa mencapai 0,95 meter.
Untuk diketahui, pada 2007, curah hujan yang mengguyur Jakarta mencapai 320 milimeter. Curah hujan di Jakarta belakangan ini sekitar 95 milimeter dan di wilayah hulu (Puncak, Bogor) sekitar 75 milimeter. Intensitas hujan di Jakarta saat ini sedang menurun. Namun, pada akhir Januari atau awal Februari, diprediksi curah hujan menjadi dua kali lipat.
Untuk itu, solusi masalah banjir Jakarta, tambah Joga, tidak hanya dengan melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan gorong-gorong raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat, menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus sadar pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai bukanlah lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan. Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya kesadaran masyarakat itu sendiri.
sumber kompas.com
Putusan MA soal Aceng Sudah Final
JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pelanggaran Bupati Garut Aceng HM Fikri sudah final. Tidak ada upaya hukum lagi yang bisa ditempuh oleh Aceng terkait dengan putusan ini.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, Selasa (23/1/2013) menegaskan hal tersebut.
Selasa (22/1/2013) kemarin, MA mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut untuk melengserkan Aceng. Dalam pendapat DPRD Kabupaten Garut Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 21 Desember 2012, Aceng Fikri terbukti melakukan pelanggaran etik ketika menikah siri dengan Fani Oktora kemudian menceraikannya beberapa hari kemudian.
Ridwan mengungkapkan, hal itu tak hanya merupakan pelanggaran etik. Menurut majelis yang dipimpin Paulus Efendie Lotulung, Aceng Fikri juga melanggar sumpah jabatan.
Terkait dengan pemberhentian Aceng, Ridwan mengungkapkan pihaknya menyerahkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang. MA hanya memberikan pendapat yuridis mengenai persoalan Aceng. MA akan dikirimkan putusan tersebut ke DPRD Kabupaten Garut secepatnya sehingga DPRD dapat mengambil langkah lebih lanjut.
Mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 29 ayat (4) huruf d menyebutkan, apabila MA memutus bahwa kepala daerah terbukti melanggar sumpah jabatan/tidak dapat melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden.
Butir selanjutnya menyebutkan, Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
sumber www.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)