Council
of Europe Convention on Cybercrime dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan
mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional
dalam mewujudkan hal ini.
Counsil of Europe Convention on Cyber Crime merupakan
hukum yang mengatur segala tindak kejahatan komputer dan kejahatan internet di
Eropa yang berlaku pada tahun 2004, dapat meningkatkan kerjasama dalam
menangani segala tindak kejahatan dalam dunia IT. Council of Europe Convention
on Cyber Crime berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
pada intinya memuat perumusan tindak pidana.
Council of Europe Convention on Cyber Crime juga terbuka
bagi bagi Negara non eropa untuk menandatangani bentu kerjasama tentang
kejahatan didunia maya atau internet terutama pelanggaran hak cipta atau
pembajakkan dan pencurian data.
Jadi tujuan adanya konvensi ini adalah untuk meningkatkan
rasa aman bagi masyarakat terhadap serangan cyber crime, pencarian jaringan
yang cukup luas, kerjasama internasional dan penegakkan hukum internasional.
Tujuan utama dari Council of Europe Convention on Cyber
Crime adalah untuk membuat kebijakan “penjahat biasa” untuk lebih memerangi
kejahatan yang berkaitan dengan komputer seluruh dunia melalui harmonisasi
legislasi nasional, meningkatkan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan
meningkatkan kerjasama internasional.
Untuk tujuan ini,
Konvensi ini mengharuskan penandatanganan untuk :
1.
Menetapkan pelanggaran dan sanksi pidana berdasarkan undang-undang domestik
mereka untuk empat kategori kejahatan yang berkaitan dengan komputer: penipuan
dan pemalsuan, pornografi anak, pelanggaran hak cipta, dan pelanggaran keamanan
(seperti hacking, intersepsi ilegal data, serta gangguan sistem yang
mengkompromi integritas dan ketersediaan jaringan. Penanda tangan juga harus
membuat undang-undang menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana tersebut
dilakukan di atas wilayah mereka, kapal atau pesawat udara terdaftar, atau oleh
warga negara mereka di luar negeri.
2.
Menetapkan prosedur domestik untuk mendeteksi, investigasi, dan menuntut
kejahatan komputer, serta mengumpulkan bukti tindak pidana elektronik apapun.
Prosedur tersebut termasuk menjaga kelancaran data yang disimpan dalam komputer
dan komunikasi elektronik (“traffic” data), sistem pencarian dan penyitaan, dan
intersepsi real-time dari data. Pihak Konvensi harus menjamin kondisi dan
pengamanan diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia dan prinsip proporsionalitas.
3.
Membangun sistem yang cepat dan efektif untuk kerjasama internasional.
Konvensi ini menganggap pelanggaran cyber crime dapat diekstradisikan, dan
mengizinkan pihak penegak hukum di satu negara untuk mengumpulkan bukti yang
berbasis komputer bagi mereka yang lain. Konvensi juga menyerukan untuk
membangun 24 jam, jaringan kontak tujuh-hari-seminggu untuk memberikan bantuan
langsung dengan penyelidikan lintas-perbatasan.
Kualifikasi kejahatan
dunia maya (cybercrime), sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, adalah
kualifikasi Cybercrime menurut Convention on Cybercrime 2001 di Budapest
Hongaria, yaitu :
·
Ilegal access: yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa
hak.
·
Ilegal interception: yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap
secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat
publik ke,dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu
teknis.
·
Data interference: yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan,
penghapusan, perubahan atau penghapusan data komputer.
·
System interference: yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius
tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer.
·
Misuse of Devices: penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program
komputer, password komputer, kode masuk (access code)
·
Computer related Forgery: Pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa hak
memasukkan mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan
maksud digunakan sebagai data autentik)
·
Computer related Fraud: Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan
hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah,
menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/sistem
komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri
atau orang lain).
·
Content-Related Offences Delik-delik yang berhubungan dengan pornografi
anak (child pornography)
·
Offences related to infringements of copyright and related rights
Delik-delik yang terkait dengan pelanggaran hak cipta
·
Isi atau Muatan Konvensi Cybercrime : konvensi ini berisi tentang beberapa
hal, salah satunya adalah tindakan yang harus diambil pada tingkat nasional
RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik
mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on
eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya
guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa
materi yang diatur, antara lain:
1.
pengakuan informasi/dokumen elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2.
tanda tangan elektronik (Pasal 11 &
Pasal 12 UU ITE);
3.
penyelenggaraan sertifikasi elektronik
(certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
4.
penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal
15 & Pasal 16 UU ITE);
Beberapa materi
perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara
lain:
1.
konten ilegal, yang terdiri dari, antara
lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan
pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
2.
akses ilegal (Pasal 30);
3.
intersepsi ilegal (Pasal 31);
4.
gangguan terhadap data (data
interference, Pasal 32 UU ITE);
5.
gangguan terhadap sistem (system interference,
Pasal 33 UU ITE);
6.
penyalahgunaan alat dan perangkat
(misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
UU ITE boleh disebut
sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia
maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang
sedikit terlewat.
Saran
Menurut saya peraturan
dalam mengatur tindak kejahatan di dunia maya itu perlu, karena dengan adanya aturan tersebut orang
akan takut untuk membuat kejahatan di dunia maya. Tapi disisi lain peraturan
tersebut bisa membuat orang tidak akan bebas menyuarakan aspirasinya, seperti
yang dialami oleh salah satu pasien di rumah sakit di daerah alam sutra
beberapa tahun yang lalu.
Sumber :