Kamis, 21 April 2016

Council of Europe Convention on Cybercrime

Council of Europe Convention on Cybercrime dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik


            Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan hal ini.
            Counsil of Europe Convention on Cyber Crime merupakan hukum yang mengatur segala tindak kejahatan komputer dan kejahatan internet di Eropa yang berlaku pada tahun 2004, dapat meningkatkan kerjasama dalam menangani segala tindak kejahatan dalam dunia IT. Council of Europe Convention on Cyber Crime berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya memuat perumusan tindak pidana.
            Council of Europe Convention on Cyber Crime juga terbuka bagi bagi Negara non eropa untuk menandatangani bentu kerjasama tentang kejahatan didunia maya atau internet terutama pelanggaran hak cipta atau pembajakkan dan pencurian data.
            Jadi tujuan adanya konvensi ini adalah untuk meningkatkan rasa aman bagi masyarakat terhadap serangan cyber crime, pencarian jaringan yang cukup luas, kerjasama internasional dan penegakkan hukum internasional.
            Tujuan utama dari Council of Europe Convention on Cyber Crime adalah untuk membuat kebijakan “penjahat biasa” untuk lebih memerangi kejahatan yang berkaitan dengan komputer seluruh dunia melalui harmonisasi legislasi nasional, meningkatkan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan meningkatkan kerjasama internasional.
Untuk tujuan ini, Konvensi ini mengharuskan penandatanganan untuk :
1.      Menetapkan pelanggaran dan sanksi pidana berdasarkan undang-undang domestik mereka untuk empat kategori kejahatan yang berkaitan dengan komputer: penipuan dan pemalsuan, pornografi anak, pelanggaran hak cipta, dan pelanggaran keamanan (seperti hacking, intersepsi ilegal data, serta gangguan sistem yang mengkompromi integritas dan ketersediaan jaringan. Penanda tangan juga harus membuat undang-undang menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana tersebut dilakukan di atas wilayah mereka, kapal atau pesawat udara terdaftar, atau oleh warga negara mereka di luar negeri.
2.      Menetapkan prosedur domestik untuk mendeteksi, investigasi, dan menuntut kejahatan komputer, serta mengumpulkan bukti tindak pidana elektronik apapun. Prosedur tersebut termasuk menjaga kelancaran data yang disimpan dalam komputer dan komunikasi elektronik (“traffic” data), sistem pencarian dan penyitaan, dan intersepsi real-time dari data. Pihak Konvensi harus menjamin kondisi dan pengamanan diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia dan prinsip proporsionalitas.
3.      Membangun sistem yang cepat dan efektif untuk kerjasama internasional. Konvensi ini menganggap pelanggaran cyber crime dapat diekstradisikan, dan mengizinkan pihak penegak hukum di satu negara untuk mengumpulkan bukti yang berbasis komputer bagi mereka yang lain. Konvensi juga menyerukan untuk membangun 24 jam, jaringan kontak tujuh-hari-seminggu untuk memberikan bantuan langsung dengan penyelidikan lintas-perbatasan.

Kualifikasi kejahatan dunia maya (cybercrime), sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, adalah kualifikasi Cybercrime menurut Convention on Cybercrime 2001 di Budapest Hongaria, yaitu :
·         Ilegal access: yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak.
·         Ilegal interception: yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke,dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis.
·         Data interference: yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau penghapusan data komputer.
·         System interference: yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer.
·         Misuse of Devices: penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer, password komputer, kode masuk (access code)
·         Computer related Forgery: Pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa hak memasukkan mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan maksud digunakan sebagai data autentik)
·         Computer related Fraud: Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/sistem komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain).
·         Content-Related Offences Delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak (child pornography)
·         Offences related to infringements of copyright and related rights Delik-delik yang terkait dengan pelanggaran hak cipta
·         Isi atau Muatan Konvensi Cybercrime : konvensi ini berisi tentang beberapa hal, salah satunya adalah tindakan yang harus diambil pada tingkat nasional

RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

            Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
            Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain: 
1.      pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2.      tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE); 
3.      penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan 
4.      penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 
1.      konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 
2.      akses ilegal (Pasal 30); 
3.      intersepsi ilegal (Pasal 31); 
4.      gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 
5.      gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); 
6.      penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat.

Saran
Menurut saya peraturan dalam mengatur tindak kejahatan di dunia maya itu perlu,  karena dengan adanya aturan tersebut orang akan takut untuk membuat kejahatan di dunia maya. Tapi disisi lain peraturan tersebut bisa membuat orang tidak akan bebas menyuarakan aspirasinya,  seperti  yang dialami oleh salah satu pasien di rumah sakit di daerah alam sutra beberapa tahun yang lalu.

Sumber :