JAKARTA, KOMPAS.com — Masalah banjir belum juga
terselesaikan di Ibu Kota. Jakarta terendam banjir pada babak awal
memasuki tahun 2013. Banjir cukup merata di seluruh wilayah Jakarta.
Sejumlah akses jalan terputus. Air setinggi 20 hingga beberapa meter
menggenangi jalanan Ibu Kota. Banjir pun tak pilih-pilih lokasi, mulai
dari perkampungan hingga Kompleks Istana Kepresidenan kebanjiran.
Curah
hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir membuat volume air
bertambah. Sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena tak mampu
menahan banyaknya air. Namun, banjir seharusnya tak terjadi hanya karena
intensitas hujan yang tinggi itu. Mengapa banjir terus terjadi dan
makin meluas di Ibu Kota?
Pengamat tata kota, Nirwono Joga,
mengatakan, sejumlah faktor turut menyebabkan banjir Jakarta 2013.
Secara umum, telah terjadi perubahan besar pada tata ruang di Jakarta
dan kota sekitarnya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Faktor
pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi kawasan
pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Resapan air hujan
menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan.
"Sebagian
besar banjir yang terjadi di Jakarta ini terjadi di daerah-daerah
tanggapan air, resapan air, yang dulu sejak zaman Belanda memang
diperuntukkan untuk ruang hijau," ujarnya di Jakarta, Selasa
(22/1/2013).
Joga mengatakan, pemerintah harus tegas membatasi
pembangunan komersial di Jakarta. Pendirian bangunan pun harus dicek
kembali apakah telah menyediakan sebanyak 30 persen sumber resapan
sesuai ketentuan undang-undang.
Kedua, sistem drainase yang buruk
di Jakarta. Menurut Joga, seharusnya saluran air berujung ke sungai atau
laut, melainkan ke daerah resapan atau ke dalam tanah. Pemerintah harus
melakukan revitalisasi terhadap sistem drainase di seluruh Jakarta dan
jalan-jalan protokol seperti Sarinah, Thamrin, Sudirman, dan lainnya.
Pemerintah juga perlu membuat sistem drainase eco-drainase yang mengalirkan air ke sumber resapan.
Ketiga,
tidak optimalnya fungsi waduk maupun situ. Dalam catatannya, pada tahun
1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ. Namun, kini hanya
tersisa 42 waduk dan 16 situ. Sebanyak 50 persen di antaranya pun tidak
berjalan optimal. Waduk-waduk di Jakarta dipenuhi tumbuhan enceng
gondok, limbah, dan sampah. Pendangkalan pun terjadi akibat sedimentasi
lumpur. Waduk yang akhirnya mengering kemudian dijadikan daerah hunian.
"Untuk
meningkatkan kapasitas optimalisasi, tentu perlu dilakukan revitalisasi
pengerukan dan penataan. Kalau optimal, waduk bisa menjadi cadangan air
bersih," terangnya.
Keempat, belum dilakukannya normalisasi di
semua sungai. Menurut pengamat dari Universitas Trisakti ini, pemerintah
harus melakukan normalisasi kali sekaligus merelokasi permukiman di
bantaran sungai ke tempat yang layak huni.
"Kita harapkan 5 tahun
ke depan sungai sudah selesai dinormalisasi yang lebarnya saat ini 20-30
meter menjadi 100 meter," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo
Purwo Nugroho mengatakan, pasang air laut dalam beberapa hari ke depan
diprediksi tinggi. Pada Senin (21/1/2013), pasang akan memuncak hingga
ketinggian 0,95 meter. Pada Sabtu (26/1/2013), pasang bisa mencapai 1
meter. Sementara pada Minggu depan, pasang bisa mencapai 0,95 meter.
Untuk
diketahui, pada 2007, curah hujan yang mengguyur Jakarta mencapai 320
milimeter. Curah hujan di Jakarta belakangan ini sekitar 95 milimeter
dan di wilayah hulu (Puncak, Bogor) sekitar 75 milimeter. Intensitas
hujan di Jakarta saat ini sedang menurun. Namun, pada akhir Januari atau
awal Februari, diprediksi curah hujan menjadi dua kali lipat.
Untuk
itu, solusi masalah banjir Jakarta, tambah Joga, tidak hanya dengan
melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan gorong-gorong
raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat,
menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus
sadar pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai
bukanlah lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya
kesadaran masyarakat itu sendiri.
sumber kompas.com
banjir yang menggenangi beberapa wilayah di jabodetabek beberapa pekan lalu sangat dahsyat. terutama di jakarta, hampir seluruh jalan utama di jakarta di genangi air setinggi 50-70 meter. genangan tersebut membuat jalan di ibu kota lumpuh. sebagai warga jakarta yang baik sebaiknya jangan selalu menyalahkan pemerintah DKI, kita harusnya mengintrofeksi diri apakah kita sudah menjadi warga jakarta yang menjadikan jakarta kota yang bersih dari sampah. kebiasaan kita yang selalu membuang sampah sembarangan itu bisa membuat banjir, sampah yang menyumbat kali menjadi dangkal dan pada akhirnya membuat sungai tidak bisa lagi menampung air.
BalasHapus