SARA
( Suku Agama Ras dan Antar Golongan )
Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Kategori
• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
Secara praktis, SARA
itu jelas lebih merugikan daripada menguntungkan. Lebih persis: anggapan yang
ada dalam teori itu tidak ada manfaatnya untuk pengembangan kehidupan bersama
secara damai, terbuka, dan demokratis. Seandainya pun ada manfaatnya, anggapan
dalam teori itu hanya berguna untuk segelintir kecil orang yang kepentingannya
tidak ada hubungan dengan kehidupan bersama, dengan etnisitas maupun dengan
agama.
Indonesia yang demikian
heterogen masyarakat dan budayanya tidak mungkin tercipta suatu masyarakat
(society, Gesellschaft), sedangkan masyarakat Indonesia yang sudah lama
terbentuk ini pastilah tak dapat bertahan lebih lama, karena anggota masyarakat
yang hingga kini sudah biasa hidup berdampingan tanpa masalah, akan kembali ke
dalam komunitas kelompok (community, Gemeinschaft) mereka masing-masing.
Kehidupan sosial dalam suatu masyarakat terbuka segera surut menjadi kehidupan
komunal yang relatif tertutup. Akibat politisnya juga segera tampak karena
kehidupan bangsa menjadi mustahil. Etnisitas (yang penuh dengan kekayaan etnis)
dan agama (yang penuh dengan ajaran dan tradisi yang luhur) tidak lagi menjadi
tempat orang mengekspresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara
budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara
politik dan mencari keamanan-diri secara budaya. Kedua, tidak mungkin terbentuk
civil society, karena masyarakat ini mempersyaratkan berkembangnya keterbukaan
dan suburnya inisiatif. Kalau teori SARA itu diterima secara luas, maka tiap
kelompok akan enggan atau takut mengambil inisiatif apa pun terhadap kelompok
lainnya dan enggan pula memberikan respons kreatif terhadap apa yang dilakukan
oleh kelompok lainnya. Akibat politiknya ialah kehidupan demokrasi menjadi amat
sulit, baik karena perbedaan pendapat tidak akan timbul karena tiap kelompok
enggan menanggapi pendapat kelompok lainnya, ataupun kalau muncul perbedaan
pendapat hal itu akan dianggap berbahaya, sementara konflik kepentingan
seakan-akan hanya bisa diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Kalau teori SARA itu
lebih merugikan dan membawa kemunduran daripada membawa manfaat untuk kemajuan,
mengapa gerangan teori itu begitu mudah diterima? Mengapa kita demikian gampang
percaya dan cenderung menerima, bahkan membenarkan bahwa hubungan antaretnis
dan antarkelompok agama di Indonesia demikian sensitif dan penuh risiko? Apakah
adanya kepercayaan atau anggapan tentang sifat sensitif itu menjadi sebab yang
mendorong atau memudahkan munculnya konflik, atau sebaliknya, kepercayaan
seperti itu muncul sebagai akibat yang terbentuk oleh pengalaman tentang
perbenturan dalam konflik yang terjadi berulangkali? Dari perspektif kebudayaan
maka pertanyaannya adalah: apakah sifat sensitif dan kerentanan (vulnerability)
hubungan antarkelompok itu disebabkan oleh hal-hal yang secara inheren terdapat
dalam perbedaan budaya, atau sesuatu yang dikonstruksikan secara kultur-politik
atas nama perbedaan etnis dan perbedaan agama?
Kalau ingatan sejarah
kita tidak terlalu pendek, maka kita tentu tahu bahwa sebuah produk kolonial
Belanda yang amat tipikal untuk politiknya pada masa lalu adalah
strategi divide et impera, siasat memecah-belah dan menguasai. Dalam
strategi itu hubungan antara kerajaan, antara para penguasa di Nusantara,
antara kelompok-kelompok sosial (pribumi lawan timur-asing, bangsawan lawan
rakyat jelata, bahkan antara kelompok-kelompok ekonomi) dipecah belah dan diadu
domba. Mereka kemudian berkonflik dan berperang satu sama lain, dan setelah
menjadi lemah karena konflik dan peperangan itu mereka kemudian dengan mudah
dikuasai tanpa terlalu banyak biaya dan tenaga. Siasat ini pada dasarnya
bertujuan memenangkan keuntungan kekuasaan, dengan mengorbankan perdamaian dan
kerukunan, bahkan hidup orang lain. Penerapan strategi ini demikian berhasil,
sehingga tidaklah mustahil pejabat-pejabat kolonial di masa lalu pada akhirnya
percaya bahwa hubungan antara berbagai kelompok di Hindia Belanda memang tidak
pernah damai, sensitif, penuh potensi konflik, serta menjurus kepada kekerasan
dan peperangan. Dalam bahasa Indonesia modern, hubungan antara kelompok di
Hindia Belanda dianggap penuh dengan suasana SARA yang kental. Yang khas dalam
konflik-konflik ini ialah kenyataan bahwa pihak-pihak yang bertikai selalu
menderita kerugian. Mereka kehilangan otonominya semula, harus menyerahkan
sebahagian daerahnya kepada pihak Pemerintah Belanda, menandatangani berbagai
perjanjian yang sangat mengikat, dan menerima bahwa mereka akan diawasi
terus-menerus dalam tindakan politik atau kebijaksanaan ekonomi mereka.
Sedangkan pihak penjajah Belanda dengan cerdik meraup berbagai keuntungan dari
konflik dan peperangan itu. Mereka mendapat tambahan daerah kekuasaan baru,
menerima pemasukan dari ganti ongkos peperangan yang dikenakan ke
kelompok-kelompok yang berkonflik, yang besarnya ditentukan secara sepihak,
serta mendapat berbagai hak untuk mengawasi dan mengintervensi tindakan politik
kerajaan-kerajaan yang semula berdaulat penuh. Kalau pejabat kolonial pada masa
itu akhirnya percaya bahwa konflik dan kekerasan antarkelompok yang mereka
ciptakan melalui rekayasa yang licik dan terencana, seakan-akan disebabkan oleh
perbedaan antaretnis atau antarbudaya, maka hal ini tentulah suatu penipuan
diri yang luar biasa yang muncul dari distorsi logika oleh
kepentingan kekuasaan kolonial. Sebaliknya, kalau kelompok-kelompok dalam
negara Indonesia yang merdeka masih percaya bahwa perbedaan antara mereka pasti
(tak dapat tidak) menimbulkan konflik dan kekerasan, maka hal ini lebih menjadi
suatu tragedi intelektual. Karena kemerdekaan politik yang diperoleh dengan
susah-payah ternyata tak sanggup membebaskan pikiran dan kesadaran kita dari
mitos-mitos yang diciptakan untuk merugikan kita, tetapi yang dengan tanpa
kritik telah kita lestarikan dalam teori dan praktek politik sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar