Jumat, 15 November 2013

SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan)

SARA ( Suku Agama Ras dan Antar Golongan )





Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Kategori

• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.

• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.

• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan

Secara praktis, SARA itu jelas lebih merugikan daripada menguntungkan. Lebih persis: anggapan yang ada dalam teori itu tidak ada manfaatnya untuk pengembangan kehidupan bersama secara damai, terbuka, dan demokratis. Seandainya pun ada manfaatnya, anggapan dalam teori itu hanya berguna untuk segelintir kecil orang yang kepentingannya tidak ada hubungan dengan kehidupan bersama, dengan etnisitas maupun dengan agama.
Indonesia yang demikian heterogen masyarakat dan budayanya tidak mungkin tercipta suatu masyarakat (society, Gesellschaft), sedangkan masyarakat Indonesia yang sudah lama terbentuk ini pastilah tak dapat bertahan lebih lama, karena anggota masyarakat yang hingga kini sudah biasa hidup berdampingan tanpa masalah, akan kembali ke dalam komunitas kelompok (community, Gemeinschaft) mereka masing-masing. Kehidupan sosial dalam suatu masyarakat terbuka segera surut menjadi kehidupan komunal yang relatif tertutup. Akibat politisnya juga segera tampak karena kehidupan bangsa menjadi mustahil. Etnisitas (yang penuh dengan kekayaan etnis) dan agama (yang penuh dengan ajaran dan tradisi yang luhur) tidak lagi menjadi tempat orang mengekspresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan-diri secara budaya. Kedua, tidak mungkin terbentuk civil society, karena masyarakat ini mempersyaratkan berkembangnya keterbukaan dan suburnya inisiatif. Kalau teori SARA itu diterima secara luas, maka tiap kelompok akan enggan atau takut mengambil inisiatif apa pun terhadap kelompok lainnya dan enggan pula memberikan respons kreatif terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok lainnya. Akibat politiknya ialah kehidupan demokrasi menjadi amat sulit, baik karena perbedaan pendapat tidak akan timbul karena tiap kelompok enggan menanggapi pendapat kelompok lainnya, ataupun kalau muncul perbedaan pendapat hal itu akan dianggap berbahaya, sementara konflik kepentingan seakan-akan hanya bisa diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Kalau teori SARA itu lebih merugikan dan membawa kemunduran daripada membawa manfaat untuk kemajuan, mengapa gerangan teori itu begitu mudah diterima? Mengapa kita demikian gampang percaya dan cenderung menerima, bahkan membenarkan bahwa hubungan antaretnis dan antarkelompok agama di Indonesia demikian sensitif dan penuh risiko? Apakah adanya kepercayaan atau anggapan tentang sifat sensitif itu menjadi sebab yang mendorong atau memudahkan munculnya konflik, atau sebaliknya, kepercayaan seperti itu muncul sebagai akibat yang terbentuk oleh pengalaman tentang perbenturan dalam konflik yang terjadi berulangkali? Dari perspektif kebudayaan maka pertanyaannya adalah: apakah sifat sensitif dan kerentanan (vulnerability) hubungan antarkelompok itu disebabkan oleh hal-hal yang secara inheren terdapat dalam perbedaan budaya, atau sesuatu yang dikonstruksikan secara kultur-politik atas nama perbedaan etnis dan perbedaan agama?

Kalau ingatan sejarah kita tidak terlalu pendek, maka kita tentu tahu bahwa sebuah produk kolonial Belanda yang amat tipikal untuk politiknya pada masa lalu adalah strategi divide et impera, siasat memecah-belah dan menguasai. Dalam strategi itu hubungan antara kerajaan, antara para penguasa di Nusantara, antara kelompok-kelompok sosial (pribumi lawan timur-asing, bangsawan lawan rakyat jelata, bahkan antara kelompok-kelompok ekonomi) dipecah belah dan diadu domba. Mereka kemudian berkonflik dan berperang satu sama lain, dan setelah menjadi lemah karena konflik dan peperangan itu mereka kemudian dengan mudah dikuasai tanpa terlalu banyak biaya dan tenaga. Siasat ini pada dasarnya bertujuan memenangkan keuntungan kekuasaan, dengan mengorbankan perdamaian dan kerukunan, bahkan hidup orang lain. Penerapan strategi ini demikian berhasil, sehingga tidaklah mustahil pejabat-pejabat kolonial di masa lalu pada akhirnya percaya bahwa hubungan antara berbagai kelompok di Hindia Belanda memang tidak pernah damai, sensitif, penuh potensi konflik, serta menjurus kepada kekerasan dan peperangan. Dalam bahasa Indonesia modern, hubungan antara kelompok di Hindia Belanda dianggap penuh dengan suasana SARA yang kental. Yang khas dalam konflik-konflik ini ialah kenyataan bahwa pihak-pihak yang bertikai selalu menderita kerugian. Mereka kehilangan otonominya semula, harus menyerahkan sebahagian daerahnya kepada pihak Pemerintah Belanda, menandatangani berbagai perjanjian yang sangat mengikat, dan menerima bahwa mereka akan diawasi terus-menerus dalam tindakan politik atau kebijaksanaan ekonomi mereka. Sedangkan pihak penjajah Belanda dengan cerdik meraup berbagai keuntungan dari konflik dan peperangan itu. Mereka mendapat tambahan daerah kekuasaan baru, menerima pemasukan dari ganti ongkos peperangan yang dikenakan ke kelompok-kelompok yang berkonflik, yang besarnya ditentukan secara sepihak, serta mendapat berbagai hak untuk mengawasi dan mengintervensi tindakan politik kerajaan-kerajaan yang semula berdaulat penuh. Kalau pejabat kolonial pada masa itu akhirnya percaya bahwa konflik dan kekerasan antarkelompok yang mereka ciptakan melalui rekayasa yang licik dan terencana, seakan-akan disebabkan oleh perbedaan antaretnis atau antarbudaya, maka hal ini tentulah suatu penipuan diri yang luar biasa yang muncul dari distorsi logika oleh kepentingan kekuasaan kolonial. Sebaliknya, kalau kelompok-kelompok dalam negara Indonesia yang merdeka masih percaya bahwa perbedaan antara mereka pasti (tak dapat tidak) menimbulkan konflik dan kekerasan, maka hal ini lebih menjadi suatu tragedi intelektual. Karena kemerdekaan politik yang diperoleh dengan susah-payah ternyata tak sanggup membebaskan pikiran dan kesadaran kita dari mitos-mitos yang diciptakan untuk merugikan kita, tetapi yang dengan tanpa kritik telah kita lestarikan dalam teori dan praktek politik sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar